NUTRISI HATI

Izzah, Izzah (2019) NUTRISI HATI. NOER FIKRI, NOER FIKRI. ISBN 978-602-447-358-7

[thumbnail of BUKU NUTRISI HATI] Text (BUKU NUTRISI HATI)
NUTRISI HATI.pdf
Restricted to Registered users only until 1 January 2026.

Download (1MB) | Request a copy

Abstract

Alhamdulillah, berikut ini kami muat tulisan Tribun Sumsel mengenai profilku yang kami edit di beberapa tempat untuk disesuaikan dengan isi buku ini. Tak mudah bagi Izzah Zen Syukri, putri sulung Ulama Besar Palembang K. H. M. Zen Syukri untuk bisa menjelma meneruskan amanah sang ayahanda. Setidaknya butuh waktu hingga ia memasuki jenjang pernikahan barulah ia takjub akan perjuangan sang ayah. “Dulu awalnya dari kecil saya sangat tidak ingin mengikuti jejak Abah (panggilan sang ayah). Sangat merepotkan melayani orang setiap hari tanpa kenal waktu,” ujar Izzah saat dibincangi Tribun Sumsel di Pondok Pesantren Muqimus Sunnah, 27 Ilir Palembang yang kini diurusnya, Kamis (18/7). Kepada Tribun Sumsel Izzah menceritakan kisahnya hingga sekarang bisa belajar dari sifat sang ayah. Dari kecil sudah tertanam dari ibunya bahwa seorang anak harus mencapai predikat sehebat-hebatnya dalam menuntut ilmu. Ini tak lain bentuk keinginan sang ibu, Hj Onah Siddik, yang pada waktu kecil tak sempat mengenyam bangku pendidikan. “Dulu ibu tak sempat bersekolah. Beliau menjadi yatim sejak usia belia. Jadi, ketika punya anak, beliau ingin sekali anak-anaknya bersekolah setinggi mungkin, tidak seperti dirinya,” ujar Izzah. Pendidikan yang baik pun diraih Izzah, mulai dari bangku Madrasah Ibtidaiyah Adabiyah. Usai tamat dari madrasah ibtidaiyah, Izzah kecil dibebaskan memilih melajutkan ke sekolah mana pun yang diinginkannya. Karena di rumah terbiasa dengan pola demokrasi, tak ada pemaksaan untuk meneruskan sekolah, baik ke umum maupun ke spesialisasi agama. “Karena dari kecil sudah sekolah agama dan di rumah pun dididik dengan nuansa keagamaan yang kuat, jadi ada semacam kejenuhan untuk belajar di sekolah agama. Lalu saya lebih memilih sekolah negeri, SMP Negeri 3 Palembang. Setelah itu, baru melanjutkan ke Pondok Pesantren Asysyafi’iah, Jatiwaringin, Jakarta. Setelah tamat pesantren, saya mengenyam pendidikan di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Palembang, FKIP Universitas Sriwijaya,” jelasnya. Selanjutnya, saat memilih bangku kuliah, Izzah yang sudah dinyatakan lulus tes masuk IAIN dan Unsri, lagi-lagi lebih memilih Unsri daripada IAIN yang menurut persepsinya memang menerapkan porsi agama Islam jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pengalaman di madrasah yang pernah ditempuhnya. “Dulu, kata orang, kalau masuk Unsri itu lebih bergengsi. Akan tetapi, saya memilih masuk Unsri agar ada tantangan. Selain itu, saya tak mau dekat-dekat dengan dunia Abah,” tukasnya. Ketika tidak memilih IAIN yang notabene tempat kuliah yang lebih banyak ilmu agamanya, ternyata tidak dikomentari sang ayah. Keinginan sang ayah yang kukuh ingin Izzah meneruskan perjuangan dakwahnya semakin keras ditolak oleh Izzah. Bahkan, Izzah pun memberi isyarat untuk mencari pendamping hidupnya yang tidak berlatar belakang seorang ustadz. “Abah sering ingin “menjodohkan” saya dengan ustadz-ustadz. Saya tahu, itu tak lain tujuannya agar saya bisa tertular sifat-sifat dakwahnya. Namun, saya tetap mensyaratkan bahwa yang menjadi suami saya kelak bukanlah seorang ustadz,” ujar Izzah bersemangat. Semangat sang ayah untuk mengajak si putri sulung untuk mengemban amanahnya ternyata tidak padam. Setelah tamat kuliah dan menikah dengan seorang dosen di tempat kuliah yang sama, Izzah pun diajak oleh sang ayah untuk tour melihat pekerjaan dan kegiatan sang ayah. Sama seperti saat masih kanak-kanak dahulu. Suatu hari di Madrasah Ahliyah 2, tepatnya tahun 2000, Izzah diajak sang ayah melihat madrasah tersebut. Saat itu kondisi madrasah itu sangat memprihatinkan. Di sana sini lantai papannya berlubang. Tangganya rusak. Sengnya miring-miring dan bocor. Dindingnya juga penuh lubang. Kelasnya kecil-kecil. Siswanya kurus-kurus tak berseragam. Ketika melihat kondisi ini, Izzah spontan berkata, “Kalau bangunannya jelek seperti ini, mana ada orang mau sekolah disini”. Sang ayah tampakterkejut mendengar Izzah punya peduli dengan madrasah ini. Lantas sang ayah pun menantang Izzah, jika ayahnya memperbaiki madrasah tersebut apakah Izzah mau mengabdi? “Iseng-iseng saya mengiyakan, “ ujar Izzah. “Dalam hati saya katakan, manalah Abahku punya uang untuk membangun gedung yang bagus. Untuk honor guru saja kadang-kadang Aba berhutang”. “Tak disangka tak dinyana, Abahku berani sanjo ‘bertandang’ untuk menyampaikan rencananya kepada para tokoh masyarakat Sumatera Selatan dan menyatakan niatnya itu juga kepada para jamaahnya. Cita-cita Abahku itu disambut baik oleh masyarakat. Dalam waktu kurang dari satu tahun, bangunan pun rampung. indah, megah, dan bertingkat,” papar Izzah. “Nah, dari situlah saya mulai mengerti dan mencintai apa yang Abah lakukan. Madrasah yang dulunya dipandang sebelah mata, madrasah yang dulu berisi siswa yang “sisa-sisa”, madrasah yang hanya menampung kelas bawah, madrasah yang siswanya 78 saja. Kini sudah berjumlah 600 lebih muridnya” (Tahun Ajaran 2015/2016). “Dari madrasah ini pula saya mulai melihat banyak sisi. Saya mulai belajar praktik bersyukur. Betapa bayak orang yang hidup minim. Saya melihat banyak sekali orang-orang susah yang butuh pendidikan dan sentuhan tangan para akademisi. Dan, bukanlah tempat saya hanya di kampus saja. Inilah habitat saya yang sebenarnya,“ papar Izzah dengan nada terharu. “Sejak itu, saya jadi senang ketika dibutuhkan orang banyak. Saya jadi senang rumah kami dikunjungi banyak orang. Dari situ pula saya mengerti kenapa dulu rumah kami (rumah Abah) tak pernah sepi didatangi tamu hingga menginap. Tak lain karena memang dapat membantu orang itu sungguh menimbulkan efek kebahagiaan tersendiri,” tukasnya. Kini, saat sang ayahanda telah berpulang ke haribaan-Nya, Izzah dengan mantap meneruskan perjuangan sang ayah, menakhodai Madrasah Ibtidaiyah Ahliyah 2, memimpin Pondok Pesantren Muqimus Sunnah, mengelola KBIH Aswaja, tetap menulis di beberapa surat kabar, dan berdakwah di beberapa tempat yang telah direstui sang ayahanda.

Item Type: Book
Subjects: #1 Repository of Teaching and Learning Process (PBM) > Buku Referensi (Reference Book)
Divisions: 06-Faculty of Education and Educational Science > 88201-Indonesian Culture and Linguistics Education (S1)
Depositing User: Izzah Izzah
Date Deposited: 26 Mar 2025 04:04
Last Modified: 26 Mar 2025 04:04
URI: http://repository.unsri.ac.id/id/eprint/169509

Actions (login required)

View Item View Item