Pemilihan Umum sebagai Praktik Demokrasi: Demokrasi Prosedural vs Demokrasi Subtansial

Taqwa, Ridhah (2009) Pemilihan Umum sebagai Praktik Demokrasi: Demokrasi Prosedural vs Demokrasi Subtansial. In: Percika Pemikiran Untuk Indonesia Baru. FWI, Yogyakarta, pp. 127-144. ISBN 978-602-8627-06-1

[thumbnail of Membahas pemilu di Indonesia sebagai praktik demokrasi yang masih berorientasi pada demokrasi proseduran, sehingga masih perlu dibenahi menuju demokrasi deliberatif menurut konsep Habermas]
Preview
Text (Membahas pemilu di Indonesia sebagai praktik demokrasi yang masih berorientasi pada demokrasi proseduran, sehingga masih perlu dibenahi menuju demokrasi deliberatif menurut konsep Habermas)
Buku_Percikan_Pemikiran_Untuk_Indonesia_baru.pdf

Download (14MB) | Preview

Abstract

Dalam kehidupan politik yang demokratis, makna pemilu yang paling mendasar atau subtansial adalah sebagai wahana pergantian dan perebutan kekuasan berdasarkan regulasi, etika dan norma politik. Dengan dasar subtansial itu, maka melalui pemilu diharapkan sirkulasi elit politik akan berlangsung secara damai dan beradab, sehingga memenuhi kriteria demokratis, tidak hanya secara prosedural tetapi yang paling utama demokratis secara subtansial. Hasil pemilu 1999 dan 2004, selain ada kemajuan, juga masih terdapat sejumlah kelemahan, seperti masih banyaknya pelanggaran pemilu yang tidak ditindak lanjuti, baik administratif maupun pidana pemilu. Kelemahan lain masih minimnya wakil rakyat yang memiliki legitimasi tinggi, karena sebagian besar anggota legislatif pada pemilu 2004 lalu terpilih karena nomor urut, bukan terpenuhinya BPP. Pemilu era reformasi, khususnya 2004, justru menjadi arena legitimasi baru para kader partai Golkar, termasuk PDI-P, sebagai partai yang pernah memerintah untuk duduk di legislatif, baik di DPR maupun di DPD yang sebagian di antaranya termasuk politisi busuk. Sedang ikatan komunal dan aliran kembali menguat, dimana sejumlah ulama dan juga kalangan ningrat (keraton) yang masuk senayan melalui DPD. Umumnya pemilih belum menjadi pemilih yang rasional dan kritis. Faktor primordialism, aliran dan hubungan patron serta kepentingan ekonomi sesaat masih menjadi referensi untuk menjatuhkan pilihan pada partai. Selain itu faktor pencitraan yang dilakukan oleh media massa, terutama terhadap kandidit pada pemilihan presiden tahap pertama dan kedua juga sangat menentukan bagi pemilih untuk menentukan pilihan politiknya. Pencitraan melalui media yang memerlukan biaya yang sangat besar, mengurangi kompetitifnya arena pemilihan, karena tidak semua pasangan-kandidat mampu menyediakan dana kampanye untuk iklan di media cetak dan elektronik. Kedepan masih diperlukan pendidikan politik secara berkelanjutan supaya semakin tumbuh jiwa kritis dan kedewasaan pemilih untuk berpartisipasi dalam politik praktis seperti halnya pemilu. Selain itu perlu penguatan pada institusi pemilu. Penyempurnaan UU pemilu senantiasa perlu diuji kehandalannya dilapangan, sehingga jika diperlukan perbaikan lagi pada pemilu berikutnya. Demikian pula penyelenggara pemilu perlu terus didorong untuk tertap berlaku adil dan profesional serta non partisan, khususnya di daerah. Dengan adanya perbaikan dan penyempurnaan kelembagaan dan proses penyelenggaraan pemilu di semua lini, maka pesta demokrasi di masa mendatang akan semakin baik, semakin demokratis, wakil rakyat terpilih semakin legitimate dan pemerintah yang terpilih pun akan mampu menuntaskan semua agenda-agenda reformasi. Hanya dengan demikian pemilu sebagai praktik demokrasi subtansial akan mendekati kenyataan.

Item Type: Book Section
Subjects: H Social Sciences > HM Sociology > HM(1)-1281 Sociology
Divisions: 07-Faculty of Social and Politic Science > 69201-Sociology (S1)
Depositing User: DR Ridhah Taqwa
Date Deposited: 28 Nov 2019 11:03
Last Modified: 28 Nov 2019 11:03
URI: http://repository.unsri.ac.id/id/eprint/18951

Actions (login required)

View Item View Item